Press "Enter" to skip to content

Prapaskah : Berbalik Pada Kerahiman Tuhan

Penulis : RP. Fidel Wotan, SMM | Imam Serikat Maria Monfortan, Direktur PMRSH Indonesia (2019-2021). Saat ini sedang Studi Doktoral di Roma.

Pada hari “Rabu Abu” segenap umat Katolik menandai dirinya dengan “abu” di kepala (dahi) sebagai tanda “pertobatan” sekaligus tanda yang menunjukkan identitas diri manusia Kristiani sebagai “makhluk yang lemah dan rapuh” di hadapan Allah.

Dari sudut pandang teologi biblis, penggunaan “abu” di sini memiliki makna ganda. Pertama, tanda kelemahan dan kerapuhan kondisi hidup manusia. Dalam Kej 18:27 Abraham menyahut: “Sesungguhnya aku telah memberanikan diri berkata kepapda Tuhan, walaupun aku debu dan abu.”

Dari pengalaman tragis yang dialami Ayub, ia sendiri menyadari batas terdalam dari eksistensinya sendiri dengan menegaskan demikian: “Ia telah menghempaskan aku ke dalam lumpur, dan aku sudah menyerupai debu dan abu.” Dalam banyak bagian lainnya dari Alkitab dimensi kerapuhan, keterbatasan hidup manusia yang bisa dilambangkan dengan abu dapat dijumpai dalam Keb 2:3; Sir 10:9; 17:27.

Suasana Misa Hari Rabu Abu, pada Misa ke 2 pukul 07.00 di Gereja Santu Mikael Kumba, Keuskupan Ruteng. Di Gereja Kumba, Misa dilayani dengan 4 jadwal, dari pagi hingga siang hari.(Foto : PAROKIKUMBA.ORG)

Kedua, tanda nyata (eksternal) pertobatan seseorang dari perbuatannya yang jahat dan memutuskan untuk melakukan suatu ziarah baru menuju Tuhan yang Maharahim.
Ungkapan Indonesia, “Rabu Abu” diambil dari Bahasa Latin: Feria quarta cinerum (Inggris: Ash Wednesday) dalam liturgi dipahami sebagai Hari Rabu sebelum Minggu Pertama Prapaskah.

Dikatakan bahwa dalam Gereja-gereja Katolik ritus Roma dan Komunitas Reformasi, serta banyak Gereja Protestan, hari khusus ini dipandang bertepatan dengan awal dari Prapaskah itu sendiri, yakni hari pertama dari suatu periode liturgi yang “kuat” berciri “pembaptisan dan pertobatan” sebagai momen persiapan untuk perayaan Paskah Kristiani. Itulah sebabnya, mengapa pada hari ini, semua umat dari berbagai ritus Latin diwajibkan untuk melakukan penebusan dosa dan menjalankan puasa dan pantang daging.

Berkenaan dengan ini, ada tradisi berupa perayaan karnaval selama beberapa hari (tujuh hari) yang disebut sebagai “il martedì grasso” (Shrove Tuesday) yang mendahului perayaan Rabu Abu. Dengan dimulainya Rabu Abu, umat Kristiani memulai apa yang disebut dengan “Prapaskah”.

Masa Prapaskah pada hakikatnya merupakan periode yang mendahului dan mempersiapkan Triduum Paskah, puncak dan sumber dari semua kehidupan Kristiani dan perjalanan imannya. Seorang Kristiani tidak pernah memahami makna Natal hanya kecuali ia dapat memahaminya dalam terang peristiwa Paskah Wafat dan Kebangkitan Tuhan.

Selama Prapaskah, setiap umat beriman Kristiani dipanggil untuk “bertobat kepada Tuhan”: berbalik arah; menjauhi yang buruk dan jahat, saat tampan untuk semakin mendekatkan diri secara lebih intens dengan-Nya. Ringkasnya, ia dipanggil untuk ber-metanoia. Di sini, seorang Kristiani didorong untuk berani masuk ke dalam pengalaman rohani “padang-gurun”. Pada masa 40 hari “padang gurun” inilah, ia terpanggil pula untuk mewujudkan tiga hal penting dan mendasar yakni, PUASA, DOA DAN AMAL terhadap orang lain.

Pastor Paroki Santu Mikael Kumba, RD Andi Latu Batara (kiri) saat  menandai dengan abu pada dahi umat yang menghadiri Misa Rabu Abu di Gereja Kumba, Rabu, 22 Februari 2023. (Foto : PAROKIKUMBA.ORG)

Tidak akan ada “pengalaman Kerahiman” yang sejati jikalau seorang Kristiani tidak mengenali “kemalangan, keterbatasan atau kerapuhannya” sebagai manusia yang berdosa, dan tidak membuka dirinya pada Tuhan, seperti yang dilakukan oleh Zakheus (bdk. Luk 19:8), Petrus (bdk. Luk 5:8), wanita Samaria (bdk. Yoh 4:5-43; 17:3), kepada “Kemurahan dan Kerahiman Allah”. Mereka adalah contoh para pengikut Kristus yang setia mencari dan mau menemukan Kerahiman Allah melalui jalan pertobatan mereka.

Setiap pengikut Kristus pada titik ini pastinya berharap pula agar dapat mengalami kebangkitan baru dalam hidupnya, dan terutama ingin mengalami kebangkitan pada hidup yang kekal.

Masa Prapaskah pada dasarnya membantu umat Kristiani untuk mempersiapkan bentuk terbesar dari cinta, pemberian diri dan penemuan kembali kehidupan manusiawinya yang terintegrasi pada Kehidupan Kekal. Hidup “sedekah/amal, doa dan puasa” adalah sarana persiapan rohani untuk kematian jasmani. Seorang Kristiani akan dapat menyambut Kebangkitan-Nya, tidak hanya secara rohani, tetapi juga secara jasmani.

Masa Prapaskah : Momen Pemurnian-Pembersihan Diri

Masa Prapaskah bagi orang Kristen Katolik adalah momen “pemurnian diri”, sebuah kondisi untuk membenahi diri. Masa Prapaskah sudah dan sedang dijalani oleh orang Kristen Katolik, terhitung mulai Rabu Abu yang ditandai dengan penerimaan abu di dahi.

Pastor Kapelan Paroki Kumba, RD Gregorius Dakosta memberikan pelayanan penandaan dengan debu pada pelajar yang mengikuti Misa Hari Rabu Abu (22/2/2023) di Gereja Santu Mikael Kumba. (Foto : PAROKIKUMBA.ORG)

Sebagai pengikut Kristus, setiap orang Kristen dipanggil untuk sungguh-sungguh mengikuti-Nya dengan berani melakukan silih atas dosa-dosanya: berpantang dan berpuasa. Apabila orang Kristen berpuasa, maka sebetulnya di situ ia mengikuti pola-pola alkitabiah yang konsisten, misalnya, Musa dan Elia berpuasa sebelum pergi menghadap Allah (bdk. Kel 34:28; I Raj 19:8).

Demikian juga Nabiah Hana, berpuasa untuk mempersiapkan diri menyongsong kedatangan Mesias (bdk. Luk 2:37). Yesus juga berpuasa (bdk. Mat 4:2), meskipun Ia tidak butuh pembersihan (pemurnian) diri. Sebetulnya kalau orang Kristen berpuasa, maka hal itu dihayati karena ada kesadaran bahwa ia telah berdosa.

Dari sebab itu, jikalau orang bertanya mengapa Yesus yang tidak berdosa, harus berpuasa? Tentu saja Yesus sama sekali tidak berdosa dan karenanya dia tidak perlu pemurnian diri-Nya lewat puasa dan pantang. Namun yang terjadi adalah sebaliknya, Dia berpuasa. Yesus justru berpuasa karena ada suatu nilai yang berharga di balik tindakan-Nya itu. Dia justru mau “memberi teladan kepada setiap pengikut-Nya”. Ia sangat mengharapkan agar setiap umat Kristiani dapat mengikuti teladan-Nya, jika mereka masih mau memverifikasi dirinya sebagai pengikut-Nya. Yesus berkata: “Apabila kamu berpuasa,” kata-Nya, “Janganlah muram mukamu seperti orang munafik” (Mat 6:16).

Puasanya orang Kristen Katolik harus lahir dari semangat kedisiplinan yang tinggi sebagaimana yang diharapkan oleh Gereja. Salah satu contoh sederhana, soal menerima komuni, di mana orang harus berpuasa selama satu jam sebelum menerima komuni suci.

Menurut Scott Hahn dalam bukunya Signs of Life (Dioma, 2011), sikap tersebut merupakan suatu pengurbanan kecil, tapi puasa seperti ini mampu membangkitkan suatu “rasa lapar sakramental” dalam diri seseorang -tidak hanya soal rasa lapar akan Sakramen Ekaristi- tetapi juga rasa lapar yang dengan sendirinya merupakan tanda lahiriah dari suatu realita spiritual: kerinduan kita untuk bersatu dengan Tuhan.

Sungguh, inilah sebabnya para rasul berpuasa ketika mempersiapkan liturgi (Lih. Kis 13:2-3). Dengan demikian, puasa semacam ini adalah sebuah perjalanan jiwa yang rindu untuk bersatu secara erat dengan Yesus Kristus. Dengan berpuasa, orang Kristen memandang dan “memeluk” Allah sebagai satu-satunya yang perlu dan nilai tertinggi dalam hidupnya.

Transformasi Diri Pada Masa Puasa dan Pantang

Setiap tahun orang Kristen Katolik dituntut untuk wajib puasa pada dua hari yakni, hari Rabu Abu dan Jumat Agung. Tuntutan dasarnya ialah ia hanya boleh makan kenyang satu kali, dan makan kenyang itu tidak boleh melebihi kedua makan yang lain bersama-sama. Pada hari-hari tersebut, Rabu Abu, Jumat Agung dan semua hari Jumat selama masa Prapaskah, mereka tidak boleh makan daging (bdk. Kan 1251). Pengurbanan semacam ini dilihat sebagai bentuk penyangkalan diri, menahan rasa lapar dan dahaga untuk meraih sebuah nilai tertinggi, yakni meneladani Kristus sendiri.

Dua siswi Sekolah Dasar yang ikut menerima penandaan dengan abu pada dahi mereka dalam Misa Hari Rabu Abu di Gereja Santu Mikael Kumba, Rabu, 22 Februari 2023 pagi. (Foto : PAROKIKUMBA.ORG)

Pertanyaannya, apakah puasa dan pantang ini diasimilasi oleh umat Kristen? Ataukah hanya sekedar sebuah ritualisme belaka tanpa disertai proses pembatinan?
Pemurnian diri tersebut merupakan momen untuk mentransformasi diri (mengubah diri). Transformasi diri akan menjadi lebih mudah kalau ada upaya untuk mampu “melepaskan” hal-hal yang seringkali membatasi ruang gerak relasi manusia dengan Allah.

Dengan kata lain, transformasi semacam ini akan berbuah kalau orang tidak mau dikungkungi, dipengaruhi secara kuat oleh mentalitas-mentalitas duniawi. Ia perlu berani “menanggalkan kesenangan diri” dari segala macam bentuk keterikatan dan belenggu duniawinya. Transformasi diri melalui sikap liberos (lepas-bebas) itu, dapat menjadi sarana bagi orang Kristen untuk mendekatkan diri pada Allah.

Dengan demikian, setiap umat Kristiani akan semakin “ditantang” untuk terus-menerus menata dan merajut hidupnya secara baik dan bijak. Upaya ini menurut hematku perlu disokong oleh kehendak yang kuat untuk melakukan discerntment terus-menerus dengan tetap mau terbuka terhadap bimbingan Roh Allah.*

Be First to Comment

Leave a Reply