Press "Enter" to skip to content

INSPIRASI AKHIR PEKAN: Perempuan, Yesus, dan Kemampuan Berbicara

Oleh : Sr. Flora Nirmala, RGS | Biarawati di Kongregasi Gembala Baik, Ruteng, sebagai Pemimpin Karya Sosial. Lahir di Maunori, Nagekeo, 14 Oktober 1974. Alumni Institute Formation Religius Study – Manila. Kaul Kekal di Yogyakarta pada 18 September 2004.

MINGGU PRAPASKAH V, 6 APRIL 2025 INJIL YOHANES 8 : 1 – 11

Kemampuan berbicara merupakan karunia istimewa yang diberikan kepada manusia. Kemampuan itu  memungkinkan manusia mengembangkan diri, memecahkan aneka persoalan, menjalin relasi dengan Allah, sesama, diri sendiri, dan alam. Selain sebagai karunia, kemampuan itu adalah buah proses belajar yang dilaksanakan individu dengan bantuan lingkungan yang mendidik.

Terdapat manusia yang kemampuan berbicaranya berkembang dengan baik dan optimal. Namun terdapat pula individu tidak atau kurang berkembang baik oleh karena dirintangi sejak dalam kandungan ibu karena faktor genetis dan atau karena lingkungan tidak menaruh perhatian dan tidak memberikan pendidikan yang diperlukan. Ada pula orang seperti perempuan dalam Injil Yoh 8:1-11 yang dibungkam suaranya oleh mereka yang berkuasa dan mendominasi hidup orang lain.

Orang Farisi dan ahli Taurat membungkam suara perempuan dalam kisah Injil Yohanes pasal 8:1-11. Mereka menemukan dia berzinah dan membawanya ke Bait Allah kepada Yesus. Mereka menghina, mempermalukan, mengeksploitasinya, dan menjadikannya komoditas politik. Meskipun ia kedapatan berzinah, namun seharusnya ia diberikan hak bicara untuk menjelaskan tentang banyak hal.

Ia perlu berbicara tentang laki-laki yang berzinah bersamanya. Ia butuh bercerita tentang status perkawinannya dan perkawinan laki-laki itu. Ia perlu menyampaikan alasan ia terjerumus dalam perzinahan. Ia butuh menerangkan situasi sosial yang membuatnya tidak berdaya dan jatuh dalam perzinahan. Ia pun berhak mendapat penjelasan dari orang Farisi dan ahli Taurat tentang alasan tidak ditangkapnya laki-laki yang berzinah itu bersamanya.

Perempuan berdosa dirampaskan haknya oleh orang Farisi dan ahli Taurat. Mereka menjadikan dia sebagai alat untuk menyerang dan menjatuhkan Yesus. Mereka membawa perempuan itu kepada Yesus untuk menguji dan menjerumuskan Yesus dalam perkara yang sulit. Melalui kasus perempuan berdosa orang Farisi dan ahli Taurat berkesempatan untuk menjebak Yesus. Menurut hukum Musa perempuan itu harus dirajam sampai mati. Namun bangsa Israel berada di bawah kekuasaan politik orang Roma yang tidak mengizinkan hukuman demikian.Di tengah situasi sulit ini, Yesus memilih diam dan tunduk serta menulis di tanah. Sikap diam Yesus berbeda dengan sikap diam perempuan yang tidak berdaya. Sikap diam Yesus adalah sikap mengajak orang Farisi, ahli Taurat, dan wanita berdosa agar merenungkan dan merefleksikan keadaan untuk menemukan kebijaksanaan. Sikap tunduk Yesus bukanlah sikap menyerah, melainkan seruan agar semua yang hadir menyadari kerapuhan. Sikap Yesus menulis dapat dipahami sebagai tindakan menulis hukum cinta kasih bukan hanya di tanah, melainkan dalam budi dan hati manusia.

Sikap diam Yesus adalah sikap bijaksana menunggu momen yang tepat untuk berbicara sehingga kata-katanya melahirkan kesadaran dan komitmen untuk membaharui diri.  Pada momen yang tepat itu Yesus berkata kepada orang Farisi dan ahli Taurat ‘siapa yang tidak bersalah, hendaklah ia mengambil batu pertama dan merajam perempuan itu!’ Kepada perempuan Yesus bertanya ‘Tidak adakah yang menghukummu?’

Kata-kata Yesus melahirkan perubahan dalam diri orang yang menghukum wanita. Mereka sadar akan dosa mereka dan satu-satu per satu meninggalkan Yesus dan wanita itu sendirian. Kata-kataNya melahirkan perubahan diri perempuan yang berhenti bungkam berkata ‘Tidak ada Tuan.’

Oleh komunikasi cinta kasih dan pengampunan bersama Yesus, perempuan itu pulih rasa harga dirinya. Ia temukan jati dirinya sebagai Perempuan yang berharga. Ia mengalami keluhuran martabatnya. Ia miliki keberanian. Berani untuk melawan penghinaan, eksploitasi, dan manipulasi dirinya oleh orang lain. Ia berubah dari perempuan bisu menjadi mampu berbicara dan pemberani. Ia beralih dari perempuan pendosa menjadi perempuan yang memiliki misi untuk berhenti berdosa dan mewartakan hal itu kepada dunia.

Perempuan menjadi berharga dan berdaya! Seturut moto Santa M. Euphrasia pendiri Kongregasi Gembala Baik “Setiap pribadi jauh lebih berharga daripada seluruh dunia.” Ketika perempuan merasa berharga di saat yang sama menjadi berdaya. Disinilah terjadi transformasi dalam kehidupan perempuan.[]

Redaksi Media Informasi dan Komunikasi PAROKIKUMBA.ORG menerima naskah/artikel berupa sharing pengalaman iman, renungan singkat untuk Rubrik INSPIRASI AKHIR PEKAN yang terbit setiap Hari Sabtu. Panjang naskah maksimal 500 kata dan diketik rapih. Naskah dikirim dengan format Microsoft Word melalui nomor WahatssApp (WA) 081 338215478. Terima kasih.

PAROKI KUMBA RUMAH KITA BERSAMA

Comments are closed.