Oleh : RP Benediktus Harjono, CRS | Imam Biarawan di Kongregasi Somascan – Ruteng, Lahir di Buru, 3 Maret 1989. Alumnus ITFK Ledalero, dan ditahbiskan imam di Filipina pada 1 Mei 2023
[Minggu Pra-Paskah IV 2 Korintus 5:17-21, Lukas 15:1-3.11-32]
HARI Minggu Prapaskah ke-empat biasa disebut juga Laetare atau Hari Minggu Sukacita. Sukacita ini terlihat jelas dalam bacaan-bacaan suci hari ini, secara khusus bacaan Injil yang berbicara tentang perumpamaan anak yang hilang. Sukacita dan kegembiraan terjadi tatkala anak yang sudah lama hilang bahkan dianggap sudah mati, menemukan jalan pulang untuk bangkit bertobat dan kembali mengalami kasih dari seorang Bapa.
Pengalaman ditemukan, dirangkul dan bahkan dikasihi oleh Bapa merupakan suatu pengalaman yang sangat indah dan bahagia bagi setiap manusia yang merasa kehilangan arah dan tujuan hidup. Ada suatu sukacita dan kebahagiaan luar biasa yang dirasakan. Sukacita ini bukan saja dialami oleh anak yang sudah hilang, tetapi justru dialami oleh Bapa yang begitu setia menanti kepulangan anaknya.
Setidaknya ada tiga figur penting yang diperlihatkan dalam perumpamaan ini. Pertama, Sang Ayah. Karakter sang Ayah dilukiskan sebagai seorang yang murah hati, berbelas kasih, setia dan mau merangkul anak-anaknya. Sikap sang Ayah sepertinya tidak pernah menolak permintaan anak sejak awal. Tidak ada kata penolakan atau nasihat apapun terhadap anak bungsu yang minta warisan dan pergi. Ayah menunjukkan rasa percaya kepada petualangan anak itu atau paling tidak membiarkan dia nantinya belajar dari pengalaman sendiri daripada kata-kata nasihat sebelumnya.
Sikap sang Ayah juga terlihat pada saat anak bungsu kembali sesudah belajar dari pengalaman pahit. Ayah sudah melihatnya dari jauh, seperti telah menantinya sejak lama, tergerak oleh belas kasih, berlari mendapatkan dia, merangkul dan mencium dia. Ayah selalu menanti. Tiada pertanyaan ataupun pengadilan terhadap anak bungsu.
Kedua, Anak Bungsu. Karakter anak bungsu digambarkan sebagai seorang yang suka boros, hidup berfoya-foya, mencari kenikmatan sendiri dan ingin hidup bebas tanpa keterikatan dengan orang tua ataupun aturan. Dia meninggalkan rumah dan pergi lalu kembali lagi dalam keadaan rapuh. Sikap anak bungsu ini adalah satu bentuk penolakan tanpa hati akan rumah dimana dia telah lahir dan dibesarkan, suatu pemisahan dari sesuatu yang merupakan bagian dari dirinya. Namun meninggalkan rumah bukan saja diartikan secara fisik lahiriah. Lebih dari itu, meninggalkan rumah berarti mengingkari realitas rohani yang menjadi bagian diri saya. Artinya mengingkari kebenaran bahwa Allah telah membentuk saya secara rahasia, merajut aku dalam rahim ibuku.
Ketiga, Anak Sulung. Karakter anak sulung digambarkan sebagai anak yang tampaknya patuh dan taat kepada orang tua, namun di sisi lain dia kurang terbuka dan mencari penghargaan serta apresiasi dari orang tua. Dia juga merasa cemburu dan iri hati terhadap perlakuan Sang Ayah kepada adik bungsunya yang dalam pemikirannya tidak adil. Dalam hal ini, dia juga adalah anak yang hilang. Dia tidak jauh mengembara, dia dekat rumah tetapi merasa tidak di rumah sendiri. Secara lahiriah dia melakukan semua yang diharapkan dari seorang anak yang baik, tetapi secara batiniah dia sebenarnya mengembara jauh dari Ayah dan rumah. Malah kekurangan anak sulung ini cukup sulit untuk dilacak karena secara lahiriah dia baik-baik saja.
Namun, ketika melihat orang bergembira, dia marah dan tak mau masuk rumah Ayah, rumah mereka sendiri. Dia tidak mau mengulurkan tangan untuk menerima adiknya, tidak memberikan senyuman dan ucapan selamat datang keluar dari mulutnya. Dia kecewa dan tidak sanggup bergembira bersama Ayah dan seisi rumah. Dia mengeluh karena merasa tidak diberi sepantasnya sesuai dengan apa yang dia harapkan dari Ayahnya. Anak sulung memang tidak paham mengapa anak bungsu yang telah bertualang dan meninggalkan rumah kini diterima sepenuhnya kembali oleh Ayah. Dia tidak memahami tentang kebaikan, belas kasihan dan kemurahan hati Ayah. Gambarannya tentang relasinya dengan Ayah belum tepat, seperti seorang majikan dan orang upahan. Karena itu, dia harus melayani Ayah sebagai tuan dan dia harus digaji. Apa yang dilakukannya bukan dilandaskan pada kasih melainkan karena perintah.
Kisah tentang anak yang hilang ini adalah gambaran tentang situasi kehidupan manusia. Baik anak bungsu maupun anak sulung keduanya telah hilang dan jauh dari rangkulan Kasih Bapa. Oleh karena itu, keduanya harus bangkit dan pulang kepada Bapa. Kita semua pasti pernah mengalami dan merasakan kehilangan dalam hidup. Dalam banyak hal, kita juga adalah anak-anak yang hilang. Kita membutuhkan jalan pulang, jalan pertobatan, jalan perdamaian untuk kembali merasakan kehangatan pelukan kasih dari Allah yang Maharahim.
Pertobatan sejati hanya akan terjadi ketika kita menyadari kerapuhan dan keberdosaan hidup kita sebagai manusia, serta menyadari akan belas kasihan dan kerahiman Allah bagi kita. Hal inilah yang membuat kita sangat berharga di mata Allah. Hidup kita semestinya bergantung pada kemurahan hati Allah yang senantiasa menerima, merangkul dan memberikan yang terbaik untuk hidup kita. Karena itu, bersyukurlah selalu atas Cinta Tuhan yang begitu indah dalam hidup kita.
Ekaristi sebagai ungkapan syukur merupakan bukti dan perwujudan nyata akan kebesaran Cinta Tuhan bagi kita umat beriman. Melalui Ekaristi yang kita rayakan, kita merayakan cinta dan belaskasihan Tuhan. Tuhan sungguh hadir secara nyata melalui Tubuh dan Darah-Nya yang mulia, serta melalui Firman-Nya yang menguduskan kita, meneguhkan iman kita dan menguatkan langkah dan ziarah hidup kita. Melalui misteri Inkarnasi, Tuhan hadir dan tinggal bersama kita, mengalami kehidupan kita, serta menuntun kita ke jalan yang benar. Kepenuhan misteri Cinta Tuhan itu sungguh nyata melalui Misteri Paskah, yakni wafat dan kebangkitan Tuhan Yesus.
Kita semua diajak untuk bersatu dengan Kristus, mengikuti teladan Kasih-Nya, menjadi Ekaristi yang menghidupkan. Kita diajak untuk selalu bersyukur dalam hidup, mengasihi satu sama lain, menjadi roti yang senantiasa dipecah-pecahkan, lalu dibagikan untuk kebahagiaan hidup sesama dan keselamatan kita sendiri. Dengan demikian, kita semua menjadi berkat bukan saja bagi kehidupan kita sendiri, tetapi juga bagi kehidupan orang lain.[]
Redaksi Media Informasi dan Komunikasi PAROKIKUMBA.ORG menerima naskah/artikel berupa sharing pengalaman iman, renungan singkat untuk Rubrik INSPIRASI AKHIR PEKAN yang terbit setiap Hari Sabtu. Panjang naskah maksimal 500 kata dan diketik rapih. Naskah dikirim dengan format Microsoft Word melalui nomor WahatssApp (WA) 081 338215478. Terima kasih.
Comments are closed.