Oleh : Fr. Thomy B. Henoz, CS | Frater Anak Paroki Kumba di Kongregasi Scalabrinian, sedang studi Teologi di Italy.
(Artikel ini diolah dari berbagai sumber yang terverifikasi dan ditambah sejumlah catatan penting lain)
Joseph Aloisius Ratzinger lahir pada tanggal 16 April 1927 di sebuah daerah bernama Marktl am Inn, di wilayah keuskupan Passau, Jerman. Ia dibaptis pada hari yang sama setelah dilahirkan. Ia adalah anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan Maria Rieger dan Joseph Ratzinger Senior. Kedua saudarnya bernama Maria Ratzinger dan George Ratzinger.
Ayahnya adalah seorang komisaris militer dan berasal dari keluarga petani dari daerah Hilir Bavaria yang kondisi ekonominya agak sederhana. Ibunya adalah anak seorang pengrajin dari Rimsting, dekat danau Chiem. Sebelum menikah ibunya pernah menjadi juru masak di beberapa hotel.
Paus (Emeritus) Benediktus XVI (Foto : istimewa)
Ratzinger menghabiskan masa kecil dan remajanya di Traunstein, sebuah kota kecil dekat perbatasan Austria, sekitar tiga puluh kilometer dari Salzburg. Dari konteks inilah ia menerima dan mendalami formasi Kristen, kemanusiaan, dan kebudayaan.
Kehidupan masa mudanya tidaklah selalu mudah. Iman dan pendidikan yang ia terima dari keluarganya menjadi bekal yang mempersiapkannya dalam menghadapi pelbagai pengalaman keras, terlebih khusus yang berhubungan langsung dengan rezim Nazi: masih segar dalam ingatannya ketika pastor parokinya dipukuli oleh tentara Nazi sebelum perayaan Misa Kudus.
Kala itu ia telah mencium aura permusuhan yang kuat dari Nazi terhadap Gereja Katolik di Jerman. Tetapi justru dalam situasi yang kompleks dan rumit inilah ia menemukan keindahan dan kebenaran iman akan Kristus. Di sini ia tersadar akan peran penting keluarganya yang selalu dengan setia menghidupi kesaksian tentang kebaikan dan harapan yang berakar pada ajaran Gereja.
Menjelang akhir tragedi Perang Dunia II, ia juga pernah direkrut ke dalam layanan militer tambahan yang beroperasi di ruang anti serangan pesawat.
Sejak 1946 hingga 1951 ia belajar filsafat dan teologi di Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi di Freising dan di Universitas Munchen. Pada 29 Oktober 1950 dia menerima tahbisan diakon oleh uskup Johannes Baptist Neuhaulser dan pada 29 Juni 1951 ia ditahbiskan menjadi imam bersamaan dengan saudaranya George Ratzinger oleh Kardinal Michael von Faulhaber. Setahun kemudian, Romo Joseph memulai kegiatan mengajarnya di Freising, sekolah di mana dulunya dia pernah mengenyam pendidikan sebagai siswa.
Paus (Emeritus) Benediktus XVI. (Foto : istimewa)
Pada tahun 1953 ia lulus dalam bidang teologi dengan disertasi berjudul: “People and House of God in the Doctrine of the Church of Saint Augustine”. (Jemaat dan Bait Tuhan dalam Doktrin Gereja menurut Santo Agustinus). Pada tahun 1957 ia menjadi staf pengajar teologi fondamental di bawah bimbingan seorang profesor terkenal di Munchen, Gottlieb Söhngen, dengan sebuah tema berjudul: “Teologi Sejarah San Bonavantura”.
Setelah menjabatan sebagai dosen dogmatik dan teologi fondamental di Sekolah Tinggi Freising, ia melanjutkan kegiatan mengajarnya di Bonn (1959-1969), Münster (1963-1966) dan Tübingen (1966-1969). Sejak 1969 ia telah menjadi profesor dogmatika dan sejarah dogma di Universitas Regensburg, di mana ia juga memegang posisi sebagai Wakil Dekan Universitas. Aktivitas ilmiah yang intens membawanya untuk menduduki posisi penting dalam Konferensi para Uskup Jerman, di Komisi Teologi Internasional.
Di antara banyak publikasinya yang berkualitas, “Pengenalan akan Kekristenan” (1968) memiliki gaung yang luas. Ini adalah kumpulan materi perkuliahan yang ia bawakan di universitas tentang “pengakuan iman apostolik”. Kemudian pada tahun 1973 diterbitkan sebuah karya berjudul “Dogma dan Khotbah”, yang merupakan kumpulan esai, meditasi, dan homili yang didedikasikan untuk kegiatan pastoral.
Pengaruhnya di kalangan Akademi Katolik Bavaria memiliki resonansi yang sangat luas ketika ia mempublikasikan sebuah tema berjudul: “Mengapa saya masih di Gereja?”. Pada kesempatan ini dengan tegas dan jelas ia berargumen: “Hanya di dalam Gereja ada kemungkinan untuk menjadi seorang Kristen dan bukan di luar Gereja.”
Serangkaian publikasi penting berlanjut secara masif seiring berjalannya waktu dan buah pikirannya menjadi titik referensi bagi banyak orang terlebih bagi mereka yang terlibat di bidang pendalaman teologi. Sebagai contoh karyanya yang berjudul “Relasi dalam Iman” tahun 1985 dan “Garam Dunia” tahun 1996.
Paus (Emeritus) Benediktus XVI (Foto : istimewa)
Juga harus diingat buku “Di Sekolah Kebenaran” yang diterbitkan pada ulang tahunnya yang ketujuh puluh.
Hal lain yang sangat berharga dari kehidupan Pastor Ratzinger adalah pengalaman besar dan bermanfaat saat berpartisipasi dalam Konsili Vatikan Kedua dengan kualifikasi sebagai “ahli” teologi.
Pada 25 Maret 1977 Paus Paulus VI mengangkatnya menjadi Uskup Agung Munchen dan Freising.
Ia menerima rahmat tahbisan sebagai uskup pada 28 Mei tahun yang sama. Ia adalah imam projo pertama yang menjadi uskup setelah delapan puluh tahun dan mengemban wilayah kegembalaan pastoral keuskupan besar Bavaria. Dia memilih “Rekan Kerja Kebenaran” sebagai moto episkopalnya. Paus Montini juga memilih dan menetapkannya sebagai Kardinal di gereja Santa Maria Penghibur di wilayah Tiburtina-Roma saat konsistori 27 Juni 1977.
Ratzinger juga pernah menjadi Relator di Majelis Umum Kelima Sinode Para Uskup (1980) dengan tema keluarga Kristen di dunia kontemporer. Pada kesempatan itu, dalam presentasi pertamanya, ia melakukan analisis yang luas dan terperinci tentang situasi keluarga di dunia, menggarisbawahi dalam hal ini krisis budaya tradisional dalam menghadapi mentalitas teknis dan rasional.
Di samping aspek-aspek negatif, ia tidak gagal untuk menyoroti penemuan kembali personalisme Kristen sejati sebagai ragi yang membuahi pengalaman suami-istri dan ia juga membahas tema yang berkaitan dengan evaluasi yang benar tentang peran wanita, yang harus diperhitungkan di antara pertanyaan-pertanyaan mendasar dalam refleksi tentang pernikahan dan keluarga.
Paus (Emeritus) Benediktus XVI. (Foto : istimewa)
Di bagian kedua dari presentasi itu, yang didedikasikan dalam tema rencana Allah bagi keluarga-keluarga dewasa ini, dia menegaskan bahwa maskulinitas dan feminitas adalah ekspresi dari persekutuan satu atau dua pribadi sebagai tanda asli dari karunia kasih Sang Pencipta.
Oleh karena itu, cinta pria dan wanita bukanlah sesuatu yang bersifat pribadi, atau profan, atau hanya biologis, tetapi sesuatu yang sakral yang memperkenalkan kita pada “status”, pada bentuk kehidupan baru, permanen dan bertanggung jawab. Pada bagian ketiga, Kardinal membahas masalah pastoral yang berkaitan dengan keluarga: dari membangun keutuhan keluarga hingga penerus generasi kehidupan, dari peran pendidikan orangtua hingga kebutuhan akan persiapan kaum muda untuk pernikahan dan kehidupan keluarga, dari tugas sosial hingga budaya dan moral. Keluarga, pungkasnya, dapat menjadi saksi di hadapan dunia untuk kemanusiaan baru dalam menghadapi dominasi materialisme, hedonisme, dan sikap permisif.
Dia juga menjadi Presiden Delegasi Majelis Keenam (1983) yang bertema rekonsiliasi dan penebusan dosa dalam misi Gereja. Dalam pidatonya di pertemuan itu, ia mengulangi norma-norma pastoral yang diumumkan oleh Kongregasi untuk Doktrin Iman mengenai Sakramen Rekonsiliasi dan memperdalam, khususnya,
pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan dua pertanyaan yang muncul beberapa kali selama pekerjaan majelis: mengenai kewajiban untuk mengakui dosa-dosa besar yang sudah dibebaskan saat absolusi umum dan mengenai pengakuan setiap pribadi sebagai elemen penting dari Sakramen. Kata-katanya menawarkan kontribusi mendasar dari refleksi dan diskusi dalam pengembangan semua Sinode Para Uskup.
Paus (Emeritus) Benediktus XVI dan Paus Fransiskus. (Foto : istimewa)
Pada tanggal 25 November 1981 Paus Yohanes Paulus II mengangkatnya sebagai Prefek Kongregasi untuk Doktrin Iman. Ia juga menjadi Presiden Komisi Alkitab Kepausan dan Komisi Teologi Internasional. Pada 15 Februari 1982 ia mengundurkan diri dari tugas pastoral di Keuskupan Agung Munchen dan Freising dan mulai menetap di Roma.
Pelayanannya sebagai Prefek Kongregasi untuk Doktrin Iman sangatlah total dan tidak mengenal lelah. Karyanya sebagai kolaborator Paus Yohanes Paulus II terus menerus membuahkan hasil yang berharga bagi kehidupan gereja. Di antara banyak poin penting dari karyanya, perannya sebagai Presiden Komisi untuk Persiapan Katekismus Gereja Katolik tidak bisa diabaikan. Pada tanggal 5 April 1993 ia dipanggil untuk menjadi anggota Ordo Uskup dan menjabat sebagai pemimpin gereja keuskupan Velletri-Segni, salah satu keuskupan di sekitar keuskupan Roma.
Pada 6 November 1998 ia diangkat sebagai Wakil Dekan Kolese Kardinal dan pada 30 November 2002 ia menjadi Dekan: ia mengambil alih gelar Gereja Suburbicarian Ostia. Sampai pada saat ia terpilih sebagai penerus Santo Petrus, ia merupakan anggota Dewan Bagian II Sekretariat Negara Vatikan; dewan jemaat untuk Gereja-Gereja Oriental, dewan untuk Ibadat Suci dan Disiplin Sakramen, dewan untuk para Uskup, dewan untuk Evangelisasi, dewan untuk Pendidikan Katolik; Dewan Kepausan untuk Mempromosikan Persatuan Kristen; Komisi Kepausan untuk Amerika Latin dan Komisi Kepausan “Ecclesia Dei”.
Kutipan biografi kisah perjalanan hidup Paus Benediktus XVI.
Pada ulang tahun imamatnya yang kelima puluh Paus Yohanes Paulus II mengiriminya pesan yang merujuk pada perayaan tahun yubileum dengan keagungan perayaan liturgi Santo Petrus dan Paulus. Dengan kata-kata “kenabian” dia mengingatkannya bahwa “pada Petrus menonjol prinsip persatuan yang didirikan di atas teguh iman sebagai batu karang pemimpin Para Rasul; dalam Paulus persyaratan intrinsik Injil untuk memanggil setiap pribadi dan setiap suku bangsa untuk taat pada iman.
Kedua dimensi ini berkaitan dengan kesaksian umum tentang kekudusan yang memperkuat dedikasi kemurah hati kedua Rasul untuk melayani Gereja sebagai Mempelai Allah yang tak bernoda.
Kardinal Ratzinger dipercayakan untuk memimpin meditasi Jalan Salib 2005 yang dirayakan di Colosseum. Pada Jumat Agung yang tak terlupakan itu, Paus Yohanes Paulus II, dengan sangat erat bertumpuh pada Salib dan dalam “lambang” penderitaan yang pedih, mendengarkan dalam hening kata-kata orang yang akan menjadi Penggantinya di Kursi Petrus.
Paus (Emeritus) Benediktus XVI (Foto : istimewa)
Setelah kematian Paus Yohanes Paulus Kedua, pada konklav yang berlangsung di Vatikan tanggal 19 April 2005, Kardinal Ratzinger terpilih sebagai Paus yang baru dan mengambil nama Benediktus XVI. Ia memulai jabatannya sebagai pemimpin tertinggi Gereja Katolik pada tanggal 24 April 2015. Ia adalah Paus ke 265 dalam Gereja Katolik.
Selama menjabat sebagai pemimpin tertinggi umat Katolik Paus Benediktus XVI pernah melaksanakan 5 konsistori yang di dalamnya ia memilih 90 Kardinal baru yang berasal dari 37 negara berbeda dan dua di antaranya belum pernah memiliki Kardinal.
Benediktus XVI menjabat sebagai Paus selama 7 tahun dan 315 hari. Pada tanggal 28 Februari 2013 dunia dikejutkan dengan keputusannya untuk berhenti dari tugas pelayanan dengan alasan kesehatan yang terganggu karena usia yang semakin menua. Paus Fransiskus terpilih sebagai penggantinya dan Benediktus menerima gelar Paus Emeritus.
Sejak saat itu ia tetap menetap di Vatikan dan mendukung setiap misi penerusnya Paus Fransiskus. Dalam beberapa pertemuan keduanya terlihat begitu bersahabat dan saling mendukung. Benediktus dalam heningnya senantiasa mendoakan Gereja. Ia menghembuskan napas terakhirnya kemarin di Vatikan, tepat di penghujung tahun 2022. Ia telah menyelesaikan misinya di dunia ini, ia telah melayani Gereja hingga akhir hayat dan sekarang ia sedang menikmati kebahagiaan abadi bersama Sang Sabda yang pernah ia wartakan.
Selamat jalan Paus Emeritus Benediktus XVI. Terima kasih untuk semua kebaikan dan dedikasi yang pernah kau curahkan untuk GerejaNya. Doakan kami dari Singgasana Suci Pemilik Kehidupan. (Editor : J. Carvallo)
Be First to Comment