Press "Enter" to skip to content

INSPIRASI AKHIR PEKAN: “Makan” dalam Kisah tentang Perumpamaan Anak yang Hilang

Oleh : RP. Heredi Suhartono, SMM | Magister Novisiat Serikat Maria Montfortan Ruteng. Lahir di Pacar – Manggarai Barat, 15 September 1979. Master di Bidang Spiritualitas di Institute for Consecrated Life in Asia – Filipina. Ditahbiskan menjadi imam di Labuan Bajo pada 6 Juli 2012.

[Minggu Pra-Paskah IV Lukas 15: 1-3, 11-32]

KISAH tentang anak yang hilang adalah salah satu kisah yang sangat terkenal dalam cerita Injil. Selain terkenal, cerita ini juga kaya akan makna. Dalam refleksi ini, kita mencoba menggali maknanya dari gambaran tentang makan. Ada banyak tema tentang makan dalam Kitab Suci dan dalam kisah perumpaan tentang anak yang hilang momen makan disebutkan sebanyak empat kali. Dan, tidak kebetulan pula kisah ini muncul setelah ada cerita singkat: juga tentang makan “Para pemungut cukai dan orang-orang berdosa biasa datang kepada Yesus untuk mendengarkan Dia. Maka, bersungut-sunggutlah orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat, katanya, “Ia menerima orang-orang berdosa dan makan bersama-sama dengan mereka” (Luk 15: 1-3).

Jadi, kisah tentang perumpaan anak yang hilang ditampilkan Yesus setelah orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat memperdebatkan soal makan. Ini menarik dan membuat kita bertanya-tanya “ada apa dengan makan?” Ternyata, zaman Yesus, makan itu bukan hanya soal roti, sayur, dan lauk-pauk, tetapi juga soal komunio. Maksudnya, kalau kita makan dengan seseorang, maka: 1) kita berada dalam komunio (bersekutu) dengan orang itu. Dan, ketika kita bersekutu dengan orang itu, maka: 2) kita menjadi seperti bagian dari komunitas orang itu hingga akhirnya kita: 3) menjadi seperti orang lain itu. Itu sebabnya, ketika Yesus makan dengan orang berdosa, Dia dianggap: 1) bersekutu dengan orang berdosa; 2) menjadi bagian dari komunitas orang berdosa; dan 3) menjadi seperti orang berdosa.

Dari pengertian dasar soal makan inilah kita memaknai kisah tentang perumpaan anak yang hilang. Pada tempat pertama, kita melihat bagaimana ia ingin mengisi perutnya dengan makanan yang diperuntukkan untuk babi karena lapar (Luk 15: 15-16). Ia meninggalkan persekutuannya dengan sesama manusia, dan masuk dalam persekutuan dengan babi. Pada zaman itu, babi adalah simbol kekotoran dan simbol hidup diluar persekutuan dengan Allah.

Jadi, bersekutu dengan babi bisa menjadi gambaran menyembah yang bukan Allah atau menyembah berhala. Menarik bahwa meski ia ingin mengisi perutnya dengan makanan babi, ia tetap merasa lapar. Itu menandakan bahwa berhala tidak akan pernah memberikan kita kepuasan. Kalau kita berhala kepada kekuasaan, kekuasaan itu tidak akan memberi kita rasa puas. Semakin kita mengejarnya malah semakin membuat kita lapar dan haus akan kekuasaan itu. Begitu juga kalau kita berhala kepada hasrat-hasrat atau nafsu kita, kita tidak akan pernah merasa terpuaskan.

Pada tempat kedua gambaran tentang makan muncul ketika si bungsu hendak kembali ke rumah bapanya. Ia berkata “betapa banyak orang upahan bapaku yang berlimpah-limpah makanannya” (Luk 15: 17-19). Sang bapa menyediakan makanan untuk hamba-hambanya bahkan berlimpah. Ini kontras dengan berhala yang justru diberi makan oleh penyembahnya atau diperhatikan oleh pemujanya, seperti anak bungsu yang harus memberi makan kepada babi yang adalah simbol berhala. Berhala diberi makan sementara ia sendiri (anak bungsu) dibiarkan kelaparan. Memang begitulah kerjanya berhala: ia berjanji untuk memberi penyembahnya makanan, namun yang terjadi justru ia membiarkan mereka kelaparan.

Tidak demikian dengan Tuhan kita! Dia sendirilah yang menyediakan makanan untuk umat-Nya. Banyak sekali contohnya, antara lain, Allah menurunkan mana dari surga ketika umat Israel melintasi padang gurun; Yesus memberi makan kepada lima ribu orang, dan yang paling nyata dalam Ekaristi. Ketika orang datang ke perayaan Ekaristi, orang datang kepada Bapa yang menyediakan makanan untuk “anak hilang” yang datang dalam keadaan lapar. Pada tempat ketiga, gambaran tentang makan muncul ketika dikatakan sang bapa menyediakan pesta untuk anaknya “ambillah anak lembu tambun itu, sembelihlah dia dan marilah kita makan dan bersukacita” (Luk 15:22-25).

Sang bapa membiarkan lembu miliknya sendiri dikorbankan dan ia meminta agar semua orang ambil bagian dalam sukacita makan bersama. Dengan cara ini sang bapa membawa si anak hilang untuk kembali bersekutu dengan dirinya, tetapi juga dengan seluruh komunitas. Sang bapa itu seperti kepala keluarga yang mempersembahkan kurban lalu mengundang seluruh anggota keluarga untuk bersekutu dengan dia dan juga bersekutu dengan satu sama lain. Jadi, berkat usaha sang bapa – dimana lembu miliknya sendiri dikorbankan – si anak hilang kembali bersekutu dengan dirinya dan juga bersekutu dengan yang lain. Mereka tidak lagi dibeda-bedakan “Mari kita makan dan bersukacita” (Luk 15: 23), artinya: bapa, si anak hilang dan para hamba menyatu (melebur jadi satu).Begitulah Ekaristi: itu adalah momen dimana kita dihimpun oleh Bapa sendiri untuk bersekutu dengan Dia dan dengan satu sama lain dengan menyantap tubuh dan darah Anak Domba yang merupakan kepunyaan-Nya sendiri dan telah Ia kurbankan demi keselamatan kita. Bapa telah mengurbankan Anak-Nya sendiri yang tubuh dan darah-Nya kita santap dalam Ekaristi supaya hidup kita tetap bersekutu tidak hanya dengan Bapa tetapi juga dengan satu sama lain, mirip seperti sang ayah yang mengorbankan anak lembunya sendiri yang kemudian menjadi makanan untuk anaknya yang hilang dan hamba-hambanya sehingga dalam perjamuan itu mereka bersekutu dengan sang ayah dan dengan satu sama lain.

Kadang-kadang kita tidak melihat Ekaristi seperti ini, karena kita berpikir soal pemisahan, bukan persekutuan. Dan itu nampak pada gambaran terakhir soal makan dimana si anak sulung tidak mau makan bersama bapa dan adiknya. Dia justru meminta untuk mengadakan perjamuan dengan sahabat-sahabatnya. Binatang yang disebutnya bukan lagi lembu melainkan anak kambing. Anehnya, ia menyebut yang lain sahabat sementara adiknya ia sebut “anak bapa” (Luk 15: 29-30) seolah-olah si bungsu bukan adiknya dan seolah-olah dia sendiri bukan anak dari bapa yang sama. Kontras yang terlihat jelas disini: lembu versus kambing, sahabat versus anak bapa merupakan ekspresi yang lebih dari sekadar kecemburuan atau kemarahan, melainkan pertama-tama ekspresi pemisahan diri. Ia ingin membangun “altar” perjamuan yang terpisah dari bapa, si bungsu dan seluruh anggota keluarga yang lain.

Dengan kata lain, dia tidak ingin bersekutu dengan mereka. Tentu ini kontras dengan keinginan ayahnya yang dengan jelas berkata “segala kepunyaanku adalah kepunyaanmu. Kita patut bersukacita dan bergembira karena adikmu telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali” (Luk 15: 31-32). Kata-kata sang ayah seolah-olah mengingatkan kita hari ini: bahwa dalam ekaristi Allah rindu agar kita bisa menerima satu sama lain dan melihat Allah sebagai bapa kita semua. Kalau kita memiliki satu bapa, maka kita menganggap satu sama lain sebagai saudara.

Dari empat momen yang memberi gambaran tentang makan dari kisah tentang perumpamaan anak yang hilang menyadarkan kita bahwa: ekaristi adalah momen dimana Bapa menyambut kita apa adanya lalu menyiapkan altar untuk mengadakan perjamuan bersama kita. Ketika kita menghadiri ekaristi, kita seperti anak hilang yang datang sekaligus rindu untuk berjumpa kembali dengan Bapa Yang Baik ini.

Kepada kita yang ‘hilang” Bapa sudah menyiapkan altar perjamuan yang terbaik di altar-Nya berupa Tubuh Anak Domba, milik-Nya sendiri supaya jiwa kita tidak lapar. Hanya Allah yang memenuhi rasa lapar kita. Berhala seperti nafsu, kekuasaan atau kekayaan tidak akan pernah memuaskan kita, malah berhala-hala ini meninggalkan kita rasa lapar berkepanjangan. Namun, Allah rindu, selain bersekutu dengan Dia, kita juga perlu bersekutu dengan satu sama lain. Maka, dalam ekaristi kita disadarkan bahwa kita semua memiliki Bapa yang sama yang menyambut kita apa adanya, dan karenanya kita adalah saudara. Semoga!

Redaksi Media Informasi dan Komunikasi PAROKIKUMBA.ORG menerima naskah/artikel berupa sharing pengalaman iman, renungan singkat untuk Rubrik INSPIRASI AKHIR PEKAN yang terbit setiap Hari Sabtu. Panjang naskah maksimal 500 kata dan diketik rapih. Naskah dikirim dengan format Microsoft Word melalui nomor WahatssApp (WA) 081 338215478. Terima kasih.

PAROKI KUMBA RUMAH KITA BERSAMA

Comments are closed.